Select Menu

Kabar Ciracas

PKS Indonesia

PKS Unik

Qiyadah

Parenting

Pemuda

Agenda

Suara Kader

Video

» » » » Inilah Pemenang Lomba Resensi Film "Tjokroaminoto"


Unknown 16.45 0







DPC PKS CIRACAS - Tadi malam akhirnya saya berkesempatan menonton film Guru Bangsa Tjokroaminoto bersama istri dan beberapa konco. Sejak karya besutan Garin Nugroho ini ramai digunjingkan, saya memang mengazzamkan diri untuk menyaksikannya. Bukan untuk mengkritisinya, karena sehebat apapun manusia pasti hasil buatannya tak sempurna, meski itu Garin sekalipun, sutradara bercita rasa Piala Citra. Saya justru penasaran dengan kabar soal kentalnya warna Islam, sesuatu yang mengejutkan mengingat berita seliweran di dunia maya soal Garin yang katanya berideologi liberal. Dan saya mendapatkan jawabannya dari komentar istri yang duduk di sebelah saya ketika film baru tayang kurang dari seperempat durasi.
“Ayah, kok beda ya?” tanya istri.
“Apanya yang beda?” saya balik bertanya.
“Enggak seperti yang kita pelajari saat sekolah. Waktu kita SD, SMP terus SMA kayaknya Sarikat Islam (SI) itu identik dengan komunis. Tjokroaminoto itu orang kiri,” ujar istri sambil matanya terus menatap layar besar dihadapannya yang menampilkan adegan Tjokro berkali-kali mengucap kata hijrah.
Istri saya benar. Dan saya begitu yakin ada jutaan orang yang memiliki pemahaman sejarah seperti istri saya. Bahwa Sarikat Islam cikal bakal komunis. Bahwa SI hanya melahirkan tokoh-tokoh kiri semacam Muso dan Semaoen. Bahwa Tjokro adalah bapak pendukung sosialisme dan komunisme di Tanah Air.
Ya, penulisan sejarah Tjokroaminoto dengan SI nya memang berkutat seputar sosialisme dan komunisme. Jika kita mau rajin membuka buku-buku sejarah, sangat mudah menemukan tulisan yang mengaitkan Tjokro dengan kedua isme di atas. Atau cobalah cari di google, maka kata sosialisme selalu ada di setiap pencarian tentang sosok Tjokro.
Misalkan tulisan Sastrawan dan filsuf yang kerap menulis tentang Islam dan pluralisme yakni Abdul Hadi W. M. Di situs  www.serbasejarah.wordpress.com, dalam artikelnya yang berjudul Islam, Sosialisme dan Persoalan Marxiisme di Indonesia, ia tanpa ragu menulis bahwa sosialisme religius telah dianjurkan sejak awal abad ke-20 oleh tokoh-tokoh seperti Tjokroaminoto pada tahun 1905 (bukunya Islam dan Sosialisme). Kata Hadi,  Tjokroaminoto memandang sistem kapitalisme yang dibawa oleh pemerintah Hindia Belanda di Indonesia merupakan bentuk dari “Kapitalisme Murtad”, sekali pun sistem ini menurut Max Weber lahir dari buaian agama Protestan, yaitu madzab Calvinis.
“Kirinya” Tjokro tak tergambar di filmnya. Kita justru menemukan sebuah narasi baru yang sama sekali tak muncul di teks-teks sejarah. Narasi yang selama ini seperti disembunyikan. Narasi itu adalah hijrah dan iqro. Khusus kata hijrah, berkali-kali muncul dalam film: di awal, pertengahan hingga akhir.
“Hijrah...kemana engkau akan membawaku?” Tanya Tjokro (Reza Rahadian) di adegan pembuka.
“Kalau hijrah satu-satunya jalan, maka aku akan hijrah,” ucap Tjokro kepada istrinya Soeharsikin (Putri Ayunda).
Berkali-kali Tjokro memang berhijrah untuk menuntaskan kegelisahannya melihat penindasan penjajah Belanda kepada pribumi.Setelah menjadi pegawai perkebunan, ia pindah ke Semarang untuk menemukan makna hijrah seperti apa yang akan diwujudkan bangsa ini. Lalu ia pindah lagi ke Surabaya dan bekerja pada surat kabar. Sementara istrinya membuat batik sekaligus mengurusi rumahnya yang dijadikan kos-kosan. Rumah Paneleh, nama kos-kosan tersebut, dihuni oleh pemuda-pemuda yang kelak menjadi tokoh-tokoh berpengaruh seperti Agus Salim (Ibnu Jamil), Semaoen (Tanta Ginting), dan Soekarno (Deva Mahenra). Di sinilah Tjokro mendirikan Sarekat Islam dan menjadikannya sebuah organisasi besar.
Kentalnya nilai Islam kian terasa saat tembang Lir Ilir dinyanyikan. Menariknya, running text yang ditampilkan berisikan makna dari syair lagu tersebut. Nuansa pergerakan Islamnya makin menguat.
Lir ilir, lir ilir. Tandure wis sumilir
Bangun, bangunlah (dari keterpurukan). Saatnya telah tiba

Tak ijo royo-royo tak sengguh kemanten anyar
Panji Islam mulai berkembang, menarik hati semua orang

Cah angon, cah angon penekno blimbing kuwi
Wahai para pemuda, amalkan Islam dengan benar

Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodo iro
Meski berat perjuangan, tetaplah terus berbuat (amal), untuk menyucikan jiwamu

Dodotiro, dodotiro kumitir bedahing pinggir
Saat pakaian (akhlakmu) terkoyak

Domdomona jlumatono kanggo sebo mengko sore
Perbaikilah, sempurnakanlah (Islammu), demi masa depan (akhirat)

Mumpung gede rembulane, mumpung jembar kalangane
Senyampang usiamu masih muda, selagi masih ada kesempatan

Yo sorak ooooo, sorak hiyooo
Hingga kita temui kebahagiaan
Pemaknaan syair Lir Ilir ini seakan ingin menguatkan pesan film ini tentang hijrah yang harus dilandasi dengan nilai-nilai keislaman yang kokoh. Dan Garin sepertinya ingin para penonton menangkap ruh film ini dengan memberikan dialog Tjokro dan Agus Salim jelang akhir film.
“Dan Aku Agus Salim akan berhijrah bersama Tjokroaminoto.”
Lalu diikuti kalimat hijrah terakhir Tjokro di film ini:
“Satu-satunya cara berhijrah adalah dengan setinggi-tinggi ilmu, sepintar-pintar siasat dan semurni-murni tauhid.”
Akhirnya, saya harus mengatakan bahwa film ini layak ditonton. Karena ini bukan sekadar film sejarah yang mengobati kerinduan akan hadirnya sosok-sosok pemimpin sekelas Tjokro di masa kini, tapi lebih dari itu. Garin melalui filmnya ini akan membuat persepsi sejarah kita “hijrah”: dari yang semula mengidentikkan Tjokro dengan sosialisme menjadi Tjokro yang Islamis. Persis seperti yang dialami istri saya saat menyaksikan film ini di bioskop tadi malam.

Penulis : Erwyn Kurniawan

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar

Leave a Reply